Fungsi Ulama dalam Dakwah Transformatif Perspektif Ali Shariati

Salah satu jejak emas dakwah transformatif Rasulullah saw dan para sahabatnya yang mulia adalah keberhasilan mereka membangun masyarakat madani. Sebuah civil society pertama di dunia yang dibangun di atas konsensus tertulis, yaitu piagam Madinah. Konflik antar klan yang terus bergolak, utamanya antara bani ‘Aus dan Khazraj berhasil dipadamkan, kecurigaan dan sengketa antar suku seantero jazirah larut dalam kesadaran kolektif membangun perdamaian di atas fondasi keadilan. Begitulah dakwah dicirikan sebagai wacana sekaligus gerakan, sebagai ilmu sekaligus amal, yang menjadi bukti kehadiran pelakunya, Rasulullah saw sebagai rahmat bagi semesta alam.

Dakwah transformatif sebagaimana dipahami oleh Muhtadi dan Safei (2005) sebagai proses rekayasa sosial menuju tatanan masyarakat ideal, sebagaimana masyarakat madani yang dicontohkan Rasulullah dan para sahabat yang mulia. Menapaki jejak emas tersebut, sejarah perkembangan dakwah abad 20, terlahir cendekiawan Islam yang banyak menginspirasi dunia, baik Timur maupun Barat. Seseorang yang sejak belia dididik dalam lingkungan agama tradisionalist-progresif, besar di universitas Islam lokal di Iran -Mashhad University hingga meraih gelar Philosophical Doctor bidang sosiologi agama dari Paris University. Sosok yang dianggap berhasil menguasai berbagai teori barat, tak terkecuali Marxisme dan me-rekonseptualisasikannya dengan Islamic Worldview hingga melahirkan konsep humanisme religius dan teologi pembebasan yang mengilhami gerakan anti kolonialisme dan revolusi di Iran.

John L. Esposito, cendekiawan AS berpendapat bahwa pemimpin Revolusi Islam Iran memang Khomeini, namun perumus dan pembentuk ideologi revolusi tersebut tak lain adalah sosok tersebut, yaitu Ali Syari’ati. Seorang alim, filsuf, propagator dan tentu seorang da’i. Shariati tidak mengenal sekat sumber ilmu pengetahuan, sebagaimana ia belajar agama di lingkungan tradisionalis hingga mendalami alam pikir filosofis di Paris. Di antara tokoh keilmuwan yang mewarnai corak pikirnya adalah Jamaluddin al Afghani dan Sir Mohamad Iqbal, dua cendekiawan yang lekat dengan pergerakan sosial, hingga Sigmund Freud dan Alexis Carrel.Gagasan sintetik Shari’ati teologi Islam dan doktrin revolusi barat tampak pada pandangan Shari’ati mengenai ‘dunia integralis’ (jahanbini-yi tawhidi). Tiga elemen, yaitu Tuhan, manusia dan semesta, sebagai suatu kesatuan. Kesemuanya memiliki satu arah dan bergerak dengan satu kehendak dan semangat. Pembebasan dari penindasan dan penegakan keadilan.

Di antara ciri khas tulisan-tulisan dan ceramah-ceramah Shari’ati menurut Amien Rais adalah “Menggerakan”. (Rais: 1995 pp. ix). Dalam konteks dakwah, Shariati selalu mendorong terjadinya pergumulan yang intensif dan naturalistik -dalam pengertian tidak dibuat-buat- antara kaum cendekiawan dan awam, antara man of university and man of bazar. Ilmu dan ajaran Allah harus selalu tersampaikan, kepada semua lapisan masyarakat. Jika terjadi stagnasi dan kebekuan, maka Shari’ati tak ragu menyalahkan cendekiawan sebagai pihak yang paling bertanggungjawab.

Al Farabi pernah berkata, “Tujuan daripada ilmu adalah amal. Puncak tertinggi dari pengetahuan terletak pada pengamalannya. Apa pun yang secara alamiah dapat diketahui dan diamalkan, maka nilai kesempurnaan nya dapat ditemukan pada saat pengetahuan itu dipraktikkan.” (Talbi: 1993, 353). Demikian pula dengan ilmu dakwah, sebagaimana dikatakan Ali Shari’ati, bahwa cendekiawan muslim, kaum intelektual, alim ulama dan para du’at hanya akan memiliki makna dan fungsi bila mereka selalu berada di tengah-tengah massa, menerangi dan membimbing mereka serta bersama-sama melakukan pembaharuan ke arah kehidupan yang lebih baik. (Shariati: 1995, 215).

Peranan aktor dakwah, meminjam istilah Shari’ati dalam membangun masyarakat terletak dalam usahanya, dalam konteks kehidupan yang terus bergerak dinamis, jika tidak demikian pasti ia akan menyerah pada determinisme historis yang akan melenyapkan kepribadian dan komitmennya. Perbedaan antara determinisme historis dan determinisme Tuhan adalah, bahwa kita diciptakan oleh Allah, bukan kekuatan-kekuatan sejarah, sehingga semestinya kita harus lebih baik dan lebih unggul daripada determinisme historis. (Syariati: 1995, hal.215).

Referensi

Shariati, Ali. 1995. Tugas Cendekiawan Muslim. Diterjemahkan oleh M. Amien Rais dari buku aslinya berjudul Man and Islam. Jakarta: Rajagrafindo

Ummah, Siti S. 2019. TEOLOGI PEMBEBASAN ALI SYARI’ATI: Kajian Humanisme dalam Islam. Diterbitkan pada ‘Anil Islam: Jurnal Kebudayaan dan Ilmu Keislaman’ Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Sumenep. Vol 12, No 1, Juni 2019

Adhan, Syamsul Rijal. 2016. THEOLOGY OF LIBERATION IN THOUGHT OF ALI SHARI’ATI diterbitkan pada JOURNAL OF ISLAM AND SCIENCE BALITBANG, Kementerian Agama Makassar Volume 03 Number 02, December 2016

Rahman, M. Taufiq. 2016. ISLAM AS AN IDEAL MODERN SOCIAL SYSTEM diterbitkan pada JISPO VOL. 6 No. 1 Edisi Januari-Juni Tahun 2016

Talbi, Ammar. 1993. Al-Farabi (259-339 AH/872-950 AD)” diterbitkan pada Jurnal Prospects: the quarterly review of comparative education Paris, UNESCO: International Bureau of Education, vol. 23, no. 1/2, 1993

Model Dakwah Interdependen dalam Menjawab Problematika Kontemporer

Cara pandang pemerintah terhadap aktivitas dakwah masih sangat aristotelian yang identik dengan model linear serta menempatkan sumber dan isi pesan sebagai faktor dominan, melampaui unsur lainnya dalam proses komunikasi, termasuk khalayak sasaran dakwah.

Pandangan demikian setidaknya tergambar dalam kebijakan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir yang bekerjasama dengan PBNU dalam melibatkan para ulama dari kalangan Nahdliyin untuk mengisi ceramah dan kajian di berbagai masjid yang terdapat di seluruh perkantoran BUMN di Jakarta dan Tangerang.

“Ajaran Islam yang disyiarkan NU serupa dengan pencanangan nilai akhlak di BUMN, yakni bertujuan membangun dan mengembangkan insan masyarakat yang bertaqwa kepada Allah, cerdas, terampil, berakhlak mulia, tentram, adil dan sejahtera. Kami melibatkan peran aktif NU agar Islam ramah ala NU dapat mewarnai pemahaman keagamaan di lingkungan seluruh BUMN,” urai Erick Thohir dilansir inews.id pada Jumat (20/11/2020).

Pelibatan para dai Nahdliyyin dianggap sebagai panasea atas fenomena paham-paham Islam “radikal” yang disinyalir berkembang di kalangan muslim perkotaan, khususnya para pegawai perusahaan plat merah di Ibu Kota.

Di kementerian agama, cara pandang serupa tampak pada wacana sertifikasi dai atau program penceramah bersertifikat. Wakil Menteri Agama (Wamenag), Zainut Tauhid Sa’adi membuka acara Bimbingan Teknis Penceramah Bersertifikat, pada 18 September 2020. “Atas nama Kementerian Agama secara resmi saya me-launching ceramah agama bersertifikat atau program penguatan ceramah agama dengan membaca basmallah. Bismillahir-rahmanirrahim semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa membimbing dan mengarahkan kita semuanya,” sambut Zainut Tauhid sebagaimana dilansir harian Merdeka (18/9/2020). Sebangun dengan mazhab Arostotelian, pendekatan komunikasi efektif (dalam konteks dakwah) diupayakan Kemenag melalui peningkatan kompetensi para dai yang dibuktikan dengan sertifikat.

Baik langkah Kemen BUMN dalam penunjukan khatib secara eksklusif dari PBNU, maupun Kemenag yang mengeluarkan ‘white list’ para dai, keduanya masih terperangkap dengan definisi dakwah tradisional, dakwah sebagai penyiaran; propaganda (Kamus KBBI: 2021),  yaitu dakwah sebagai proses indoktrinasi wacana keagamaan dari atas mimbar.

Pengertian dakwah sebagai bentuk komunikasi linear indoktriner dengan menitikberatkan fungsi dai dan konten dakwah, meski bersifat imperative, di lapangan justru kurang bisa mengimbangi kompleksitas fenomena sosial yang terus berkembang secara dinamis. Walhasil terjadi disintegrasi atau diskoneksi antara dunia dakwah dengan pelbagai dimensi kehidupan yang kompleks dan dianggap profan.

Dakwah seyogianya dipahami secara holistik, dimulai perencanaan, pengorganisasian, implementasi hingga  mekanisme kontrol. Unsur-unsur dakwah idealnya diberi perhatian yang sama penting oleh berbagai pihak yang berkepentingan; dari kualitas dai, konten dakwah, medium dakwah, sasaran khalayak dakwah (mad’u), serta dampak yang diharapkan dari dakwah itu sendiri. Dalam menyikapi mad’u, pendekatan andragogis dipandang mampu menghadirkan dakwah yang solutif atas problematika yang dihadapi secara riil oleh masyarakat di lapangan.

Dakwah, meminjam istilah Saussure harus hadir mengerangkai langue, dalam konteks ini berupa sistem sosial, sekaligus mewarnai parole, yakni diskursus yang menjadi tema perbincangan publik. Dakwah yang solutif dirancang dengan model interaktif atau interdependen yang tidak bertumpu hanya pada komunikator dakwah saja. Dakwah yang tidak melulu didisain secara top-down, namun juga bottom up. Pada saat pandemi terjadi misalnya, para dai hendaknya ikut serta mengembangkan wacana kesehatan berbasis agama, semisal pengobatan nabawi, quranic healing, islamic theurapeutic communication dan sejenisnya.

Dengan pendekatan dakwah interdepeneen misalnya, alih-alih mengutus da’i Ormas tertentu ke pelbagai masjid instansi, kementerian BUMN sebenarnya dapat menginstruksikan pimpinan perusahaan dan atau seluruh pegawai untuk terlibat memakmurkan masjid mereka dengan kegiatan kemasyarakatan dan pengembangan wawasan moderasi Islam dalam menjawab tantangan sosial hari ini.

Alih-alih menstempel muballigh dengan sertifikat, Kemenag jauh lebih bijak melakukan pendekatan lintas Ormas dan lembaga keagamaan untuk duduk bersama mengembangkan wacana moderasi Islam, karena yang dihadapi adalah lebih dari 200 juta ummat yang tak mungkin dilayani oleh hanya sekelompok dai bersertifikat. Demikian, cara pandang dakwah ala mazhab arostotelian telah usang dan harus segera diperbarui untuk menjawab tantangan.

Dakwah, sebagaimana firman Allah pada QS Fushilat ayat 33 dapat dipahami sebagai perkataan terbaik (ahsanul aqwaal), perbuatan paling bermashlahat (ashlahul a’maail), dan perilaku dan teladan terindah (ajmalul amtsal). Penggalan akhir dari kalamullah tersebut menyiratkan bahwa amaliyah dakwah sejatinya dapat dilakukan oleh semua orang beriman. Singkatnya, setiap perkataan, perbuatan dan teladan yang tumbuh dari iman kepada Allah merupakan dakwah, tanpa membeda-bedakan ras, profesi, gender atau status sosial seseorang.

وَمَنۡ أَحۡسَنُ قَوۡلٗا مِّمَّن دَعَآ إِلَى ٱللَّهِ وَعَمِلَ صَٰلِحٗا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ ٱلۡمُسۡلِمِينَ

“Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah dan mengerjakan kebajikan dan berkata, “Sungguh, aku termasuk orang-orang muslim (yang berserah diri)?” (QS  Fushilat (41) ayat 33).

Ilmu Dakwah: Suatu Pengantar

Nabi Muhammad saw. diutus sebagai rahmat bagi semesta, karenanya cahaya dakwah haruslah menerangi segenap jiwa di dunia. Buah manis dakwah tampak pada tegaknya keadilan, tersemainya kebajikan dan tenggelamnya kebathilan. Dakwah merajut persatuan ummat manusia di bawah simpul ikatan (aqidah) yang suci, tak ada Tuhan yang patut disembah selain Allah, Sang Pencipta yang syariat-Nya merupakan bentuk cinta-Nya yang Maha Sempurna.

Dakwah merupakan kemuliaan, karena dengannya seseorang melibatkan diri pada tersemainya cahaya rabbani di jagad raya. Pendakwah sejatinya merupakan para pewaris misi para Nabi yang mulia. Lisan, tangan dan akhlak mereka adalah teladan yang membumikan nilai-nilai Al Quran di persada alam. Karena itu, pekerjaan dakwah memerlukan bekal ilmu dan keterampilan yang dipandu nilai-nilai wahyu.

Buku ini mencoba memotret dakwah dari pelbagai sisi sebagai catatan kecil bagi mereka yang mendedikasikan diri sebagai thaifah yang mengingatkan kaumnya apabila mereka kembali untuk senantiasa menjaga diri. Dapatkan bukunya pada link di bawah ini.

https://play.google.com/store/books/details/Daniel_Rusyad_Ilmu_Dakwah?id=r3gREAAAQBAJ

Dakwah Daring dan Luring

Jaringan internet merupakan inescapable need di era informasi. Keterhubungan (connectedness) masyarakat dunia dalam jaringan yang inklusif, partisipatif, dyadic dan terbuka menciptakan dunia maya (cyberspace) dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya (Mayfield: 2008). Perkembangan internet tidak saja dapat dilihat sebagai transformasi dari analog menuju digital, dari 3G menuju 4G dan seterusnya. Di tengah kemajuan internet, terjadi pula pergeseran nilai-nilai dalam masyarakat, disebabkan tawaran ide-ide dan nilai-nilai baru yang dikemas dalam suatu paket yang menarik (Sulaeman et. al: 2020).

Fenomena cyberspace lebih tepat untuk dilihat sebagai ekspansi –tanpa berpretensi memaknainya sebagai substitusi- medan dakwah. Penggunaan jaringan internet untuk kegiatan dakwah semata-mata merupakan konvergensi media dakwah. Campbell & Lövheim (2011) menyatakan bahwa praktik keagamaan online sebenarnya tidak dapat berdiri sendiri tanpa praktik offline sehingga, masing-masing akan saling memengaruhi. Lebih lanjut, Campbell & Lövheim menjelaskan bahwa kecenderungan praktik keagamaan online ini merupakan perpanjangan dari religiositas yang dilakukan secara offline. (Arifin: 2019). Dalam konteks dakwah misalnya, video streaming atau aplikasi online tak dapat menggantikan kegiatan atau institusi keagamaan yang pada dasarnya bersifat offline, seperti shalat, khutbah jumat atau hari raya, ibadah qurban, ritual haji, proses tarbiyah di pesantren dan sebagainya. Jaringan internet merupakan media yang dapat digunakan untuk menggemakan pesan dakwah dari kegiatan-kegiatan keagamaan tersebut.

Seiring revolusi media yang bergerak progresif dan dinamis, maka dakwah pun dituntut untuk terus berkembang dalam bentuk yang lebih luas. Jika sebelumnya kegiatan dakwah dilihat dari pendekatan lisan (da’wah bil-lisan), tulisan (da’wah bil-kitabah) dan perbuatan (da’wah bil-hal) (Muhtadi: 2005), di tengah era industri 4.0, pendekatan dakwah juga dapat dilakukan melalui aplikasi software (da’wah bil baramij), melalui klip/video (da’wah bil aflaam), melalui social network (da’wah bis syabakah), melalui microblogging (da’wah bil madunah), dan pendekatan lainnya yang tersedia di dalam maupun di luar layanan jaringan.

Urgensi dakwah dalam jaringan (daring) di Indonesia tampak jelas pada hasil riset lembaga Hootsuite pada Januari 2020, bahwa 64% dari total populasi Indonesia, atau sekitar 175 juta jiwa penduduk merupakan pengguna internet. Dari jumlah tersebut, 160 juta –atau sekitar 91%- di antaranya merupakan pengguna aktif sosial media seperti Facebook, Twitter, Instagram, Tiktok dan Youtube. Adapun perilaku penggunaan internet masyarakat Indonesia, sebagaimana dilansir Tim Riset Kompas didominasi oleh pencarian informasi terkait hiburan dan hobi seperti musik (63%), film (43%), game online (27%) dan menonton video streaming (23%). Bisa dibayangkan jika dunia maya tidak tersentuh oleh dakwah, maka konten yang jauh dari nilai-nilai Islam yang akan menjadi konsumsi pengguna internet yang melimpah tersebut.

Sehubungan dengan fenomena dakwah daring, terdapat hasil kajian dari tim riset Fakultas Dakwah & Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati Bandung, bahwa sebagian umat Islam masih memandang negatif internet, namun sebagian yang lainnya justru melihat internet sebagai peluang baru bagi aktivitas dakwah. Bahwa pandangan dan sikap akademisi dakwah dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori: pertama, optimistik-progresif, yakni memandang internet sebagai media mutakhir yang sangat strategis untuk dimanfaatkan sebagai media dakwah di era global; kedua, optimistik-suportif yakni memandang positif tentang pentingnya internet sebagai media dakwah dan dalam batas kemampuannya berupaya memanfaatkan internet sebagai media penting untuk dakwah; dan ketiga, optimistik-pasif, yakni memiliki optimisme terhadap internet sebagai media dakwah namun masih belum tergerak untuk memanfaatkan dan mengoptimalkan internet sebagai media dakwah. (Fakhruroji & Muhaemin: 2017).

Di sisi lain, fakta bahwa masih terdapat 97 juta penduduk Indonesia yang belum terkoneksi dengan jaringan internet. Seakan mengkonfirmasi asumsi pada model difusi inovasi bahwa selalu ada mereka yang terlambat (late majority) atau resisten (laggard) terhadap ide-ide atau cara baru di dalam sebuah masyarakat. (Rogers: 2003). Betapapun mereka adalah target dan mitra dakwah yang membutuhkan cahaya dakwah melalui khidmah para da’i.

Pada akhirnya, baik dakwah daring maupun luring merupakan bentuk pengamalan dari perintah Allah ﷻ pada QS Ali Imran 03:104 “Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” Termin “minkum” (diantara kamu) sebagaimana diuraikan dalam tafsir al-Qurthubi dapat dimaknai libayaanil jinsi bahwa dari “sebahagian mu” menjadi isyarat bahwa dari sebagian ahli IT, sekelompok ahli ekonomi dan sebagainya. Adapun prinsip kerja dakwah bagi mubaligh daring maupun luring mengacu pada QS al-Maidah 05:02, “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan” Dengan memperhatikan kaidah dakwah pada QS Ibrahim 14:04. “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, agar dia dapat memberi penjelasan kepada mereka.” Dari Abdullah bin Mas’ud ra. Nabi ﷺ bersabda, “Tidaklah engkau berbicara pada suatu kaum suatu pembicaraan yang tidak sampai pada (kapasitas) nalar mereka, kecuali akan menimpa atas sebahagian mereka suatu fitnah (HR Muslim).

Demikian, luasnya medan dakwah membutuhkan kolaborasi para du’at untuk bisa hadir menyapa ummat dengan lisan yang sesuai untuk setiap generasi, lisan yang serasi dengan setiap kelompok, suku dan golongan, lisan yang setakar dengan setiap tingkatan intelektualitas dan kapasitas budaya seseorang atau masyarakat yang menjadi mitra dakwah.

Daftar Bacaan

  • Arifin, Ferdi. 2019. Mubalig Youtube dan Komodifikasi Konten Dakwah pada Jurnal Dakwah dan Komunikasi Al Balagh IAIN Surakarta Vol. 4 No. 1 tahun 2019
  • Fakhruroji, Moch dan Enjang Muhaemin. 2017. Sikap Akademisi Dakwah terhadap Internet sebagai Media Dakwah pada Jurnal Sosioteknologi UIN Sunan Gunung Djati Vol. 16 no. 1 April 2017
  • Mutrofin. 2018. Dakwah Melalui Youtube: Tantangan Da’i di Era Digital pada Jurnal Komunikasi Islam UIN Sunan Ampel Surabaya Vol. 8 No. 2, Desember 2018
  • Qurthubi, Abu Abdillah. 2006. Al Jami’ li Ahkamil Qur’an. Jeddah: Muassasah ar Risalah
  • Rogers, Everet M. 2003. Difussion of Innovation: 5th Edition. New York: Simon & Schuster
  • Sulaeman, Arif Ramdan et al. 2020. Strategi Pemanfaatan Youtube dalam Bidang Dakwah oleh Ulama Aceh. pada Jurnal Communication UIN Ar Raniry Vol. 11 no. 1 April 2020

Menyoal Komunikasi Akademisi Islam terhadap Isu Radikalisme

A. Pendahuluan

Hasil riset Setara Institute (Mei 2019) mengenai radikalisme di lingkungan perguruan tinggi di Indonesia menghadirkan wacana pentingnya pengembangan modelmoderasi beragama sebagai mental sikap dosen dan mahasiswa di lingkungan perguruan tinggi di tanah air. Temuan riset tersebut  di antaranya sepuluh Perguruan Tinggi Negeri (PTN) ternama, di antaranya Universitas Indonesia (UI), Institut Pertanian Bogor (IPB), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas Brawijaya (Unibraw), Universitas Airlangga (Unair), Universitas Mataram (Unram), UIN Syarif Hidayatullah dan UIN Sunan Gunung Djati terpapar paham radikalisme. Di samping itu, riset Setara menyimpulkan lebih dari 23 persen mahasiswa Indonesia telah terkontaminasi pemikiran radikalisme.

Berbekal temuan yang cukup meresahkan tersebut, Setara Institute berhasil menggiring diskursus radikalisme di tengah masyarakat, khususnya di kalangan akademisi Islam di Indonesia. Hampir seluruh pemangku kepentingan, baik Pemerintah, lembaga pendidikan, akademisi dan masyarakat secara luas merasa berkepentingan untuk berperang melawan radikalisme, meskipun sebenarnya pemahaman terkait radikalisme masih sumir dan berbeda antara satu dan lainnya. Akibatnya setiap pihak memiliki caranya sendiri untuk memerangi radikalisme sesuai dengan pemahaman yang berbeda-beda tersebut. Tak terkecuali dunia akademik yang mengekpresikan sikap anti-radikalismenya dengan berbagai cara.

Upaya deradikalisasi misalnya ditempuh Kementerian Agama Republik Indonesia dengan mengeluarkan Surat Edaran (SE) tentang Rumah Moderasi Beragama tertanggal 29 Oktober 2019, lima bulan pasca dirilisnya temuan riset Setara Institute. Melalui SE tersebut, Menag Fachrul Razi mewajibkan seluruh Perguruan Tinggi Keislaman Negeri (PTKIN) memiliki Rumah Moderasi Beragama. “Rumah (Moderasi Beragama) ini akan menjadi tempat penyemaian, edukasi, pendampingan, pengaduan dan penguatan atas wacana dan gerakan moderasi beragama di lingkungan kampus PTKIN”, jelas Kamaruddin Amin, Dirjen Pendidikan Islam Kemenag RI. “Moderasi beragama akan menjadi solusi bersama untuk menghadapi pemahaman ultra konservatif, intoleransi hingga radikalisme” papar Menteri Agama di sela peresmian RMB UIN Walisongo Semarang (19/02/2020).    

Bak gayung bersambut, PTKIN pun beramai-ramai membangun Rumah Moderasi Beragama. UIN Sunan Gunung Djati Bandung menjadi yang pertama meresmikan Rumah Moderasi Beragama pada November 2019, disusul UIN Walosongo Semarang pada Januari 2020, IAIN Kudus pada Februari 2020 disusul PTKIN lainnya di tanah air. Semangat deradikalisasi diekspresikan berbagai perguruan tinggi negeri dengan menjadikan moderasi beragama sebagai mata kuliah integratif serta mewajibkan mahasiswa baru untuk menandatangani pernyataan anti terorisme dan radikalisme sebagai syarat penerimaan. Lantas, apakah sebenarnya radikalisme yang begitu ditakuti tersebut? apakah langkah akademisi dalam menyikapi radikalisme sudah tepat pada tempatnya?

B. Pengertian Radikalisme

Termin radikalisme berasal dari akar kata radix yang berarti akar atau dasar. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikatakan bahwa radikal dapat berarti; secara menyeluruh; habis-habisan; amat keras; dan menuntut perubahan. Sedangkan radikalisme dalam KBBI berarti, yakni; (1) paham atau aliran yang radikal dalam politik; (2) paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; (3) sikap ekstrem dalam aliran politik.

Padanan kata radikalisme dalam Bahasa Arab, meminjam istilah Yusuf Qardhawi, disebut  attatharuf yang berarti “berdiri di ujung, jauh dari pertengahan” yang secara konseptual bisa dimaknai berlebihan dalam menyikapi sesuatu, seperti berlebihan dalam beragama, berpikir dan berprilaku.  Azyumardi Azra menyatakan, “Istilah radikal mengacu kepada gagasan dan tindakan kelompok yang bergerak untuk menumbangkan tatanan politik mapan; negara-negara atau rejim-rejim yang bertujuan melemahkan otoritas politik dan legitimasi negara-negara dan rejim-rejim lain; dan negara-negara yang berusaha menyesuaikan atau mengubah hubungan-hubungan kekuasaan yang ada dalam sistem internasional. Istilah radikalisme karenanya, secara intrinsik berkaitan dengan konsep tentang perubahan politik dan sosial pada berbagai tingkatan”.

Sekelumit perbedaan definisi terminologis dan konseptual terkait radikalisme sebagaimana tampak pada kajian lintas disiplin seharusnya tidak membuat akademisi terbawa arus mainstream yang tanpa pemahaman yang memadai ikut mengutuk segala bentuk radikalisme, termasuk radikalisme berpikir. Bukankah radikalisme merupakan bagian dari dimensi epistemologi ilmu pengetahuan. Radikalisme memang menjadi momok ketika berwujud suatu gerakan politik, sebagaimana fenomena radikalisme yang oleh Barat dilabeli teroris merupakan pihak-pihak yang bertujuan melemahkan otoritas politik yang dianggap zalim dengan jalan jihad. Namun demikian, justru akademisilah yang bertugas memberikan penyegaran pemahaman terkait radikalisme sebagai sikap mental beragama ditinjaui secara multi-perspektif sekaligus menghadirkan anti tesis secara konseptual untuk mencapai solusi alternatif.

C. Menyoal Komunikasi Akademisi Islam dalam Menyikapi Isu Radikalisme di Indonesia

Maraknya peresmian Rumah Moderasi Beragama (RMB) dan deklarasi anti radikalisme di PTKIN dapat dilihat sebagai bentuk dramaturgi dalam relasi kuasa. Demikian, karena pendirian RMB semata-mata merupakan bentuk loyalitas pimpinan PTKIN terhadap Menteri Agama yang secara struktural merupakan komando tertinggi di lingkungan Perguruan Tinggi Keislaman Negeri. Dengan mengindahkan SE Rumah Moderasi Beragama, maka relasi kuasa akan terjaga sehingga memudahkan operasionalisasi kelembagaan PTKIN itu sendiri. Sebaliknya, pembangkangan atas SE RMB akan menjadi stigmatisasi radikalisme di lembaga tertentu. Walhasil, pendekatan akademisi Islam, dalam hal ini pemangku jabatan di PTKIN terhadap isu radikalisme beragama, alih-alih sebagai hasil kajian akademik yang matang, tetapi merupakan seremonial yang disajikan sebagai bentuk ketaatan pada pemerintah RI pada tataran panggung depan (front stage).

Jika ditilik dari belakang (back stage), sesungguhnya tidak ada kekhawatiran sama sekali bagi akademisi Islam terkait potensi radikalisme di lingkungan PTKIN. Sebagaimana diyakini cendekiawan muslim, Ulil Abshar Abdalla bahwa dibandingkan lembaga-lembaga umum, institusi keagamaan (Kementerian Agama) minim terpapar paham radikalisme. Demikian karena dengan mempelajari agama secara baik dan benar akan menjauhkan seseorang dari perilaku ekstrem dan destruktif.

Pendekatan dramaturgi yang seolah menampilkan diri sebagai pihak yang berkepentingan dalam menanggulangi radikalisme melalui seremoni-seremoni di panggung depan adalah tugas humas Pemerintah, bukan merupakan ciri atau karakteristik akademisi yang unggul. Dengan sekadar mengikuti arus mainstream, akademisi Islam kehilangan jati dirinya sebagai agen pencerahan bagi ummat manusia. Akademisi Islam, sebagaimana disampaikan Plato dalam metafora gua (cave allegory) yang terkenal, seyogianya bertindak sebagai filusuf, yaitu seseorang yang mendedikasikan dirinya pada kebenaran dan berusaha memberikan pencerahan bagi mereka yang masih terperangkap dalam gelapnya gua. Dibekali ilmu pengetahuan dan pemahaman yang mendalam, akademisi Islam seharusnya berperang secara konseptual dengan menawarkan gagasan-gagasan yang dengan sendiri membuat paham ‘radikalisme’ atau ekstrimisme usang dan ditinggalkan semua orang. PTKIN tidak perlu dibebani dengan pendirian rumah moderasi, cukup dengan difasilitasi untuk bisa berkembang secara global untuk mensyiarkan Islam yang merupakan rahmat bagi alam semesta.

Etos akademisi Islam harus selalu diejawantahkan dalam bentuk kajian, bukan sekadar seremoni. Memotret fenomena radikalisme dalam tubuh ummat Islam dapat dibedah melalui pendekatan Bernard Lewis, seorang Islamolog Barat. Mengambil potret Islam secara parsial menurut Lewis pada akhirnya akan menyebabkan kesalahpahaman terhadap Islam itu sendiri. Bernard Lewis membagi Islam ke dalam tiga dimensi, yaitu Islam sebagai ajaran adiluhung dan paripurna, Islam sebagai pemahaman atau tafsir dan Islam dari sudut pandang historis atau fakta-fakta di lapangan. Islam sebagai ajaran mulia tak dapat direpresentasikan secara mutlak oleh golongan tertentu, karena terdapat faktor-faktor yang membeda-kan antara satu dan lainnya. Dengan kata lain, kualitas ummat Islam pada masa dan tempat tertentu tak dapat dijadikan tolok ukur kesempurnaan Islam. Sebagaimana dikenal adagium al Islam ya’luu wa laa yu’laa ‘alaih.

Adalah keliru jika kesalahan pada perilaku ummat dalam faktualisasi Islam, dalam hal ini tindakan yang ekstrem dan destruktif dengan dalih agama, menjadi dalil bagi akademisi Islam untuk menawarkan konsep atau gagasan baru pada ajaran, seperti Islam Moderat, Islam Substantif, dan lain sebagainya sebagai bentuk antitesa. Seakan tindakan yang keliru tersebut dapat dijustifikasi oleh Islam yang tidak diberikan predikat yang tidak perlu tersebut.

Fenomena golongan dalam tubuh ummat Islam yang memiliki kecenderungan tidak mengakui otoritas atau penguasa setempat dan berperilaku merusak bukan hal baru dalam sejarah Islam. Bahkan pada zaman para Sahabat, telah dikenal sekta khawarij (orang-orang yang keluar dari kesetiaan pada pemimpin, pen.) yang berupaya membunuh para pemimpin ummat Islam yang sah. Seharusnya pendekatan serupa ditempuh para akademisi Islam kontemporer. Alih-alih mengikuti arus media Barat yang sejak awal berpretensi negatif terhadap Islam, seharusnya kaum ekstrimis yang destruktif di tanah air cukup dilabeli neo-khawarij saja. Pola komunikasi yang dilakukan akademisi Islam dengan memberikan predikat pada Islam sebagai ajaran merupakan blunder besar dalam upaya dakwah.  Hal yang seharusnya disadari akademisi Islam adalah tingkat pemahaman ummat Islam di Indonesia terhadap agamanya masih sangat rendah, sehingga boleh jadi penyimpangan terjadi karena rendahnya literasi pada ajaran inti Islam itu sendiri, yang malah dipersepsi negatif dengan adanya alternatif predikat yang sama sekali tidak dibutuhkan.

Sudah saatnya akademisi Islam berhenti ber-dramaturgi dan mengambil peran sebagai akademisi sejati melalui komunikasi efektif dalam upaya dakwah sekaligus mitigasi paham ekstrem dan destruktif di bumi Indonesia. Komunikasi efektif yang oleh Stuart L Tubbs dan Sylvia Moss (1996) dicirikan oleh lima hal, yaitu membangun kesamaan pengertian, mengembangkan rasa senang, mengubah sikap ke arah yang dikehendaki, membangun hubungan sosial yang baik dan menimbulkan tindakan sesuai yang diharapkan. Hal demikian tidak mungkin terjadi jika komunikasi tidak dilandasi objektivitas dalam berpikir, kejujuran dan niatan yang baik. Terlebih komunikasi akademisi berdimensi edukasi yang memiliki tujuan mulia.    

D. Penutup

Sebagaimana komunikasi tidak terjadi di ruang hampa, maka berbagai variabel seperti konteks, nuansa dan hambatan komunikasi perlu menjadi perhatian serius para akademisi Islam dalam menyikapi isu radikalisme di Indonesia. Stigmatisasi yang kerap disematkan pada ummat Islam jangan menjadi label yang digunakan secara taken for granted tanpa membedah problematika yang melatarbelakanginya. Alih-alih memberikan predikat pada Islam semisal Islam radikal dan lain sebagainya, akademisi sebaiknya memberikan penamaan spesifik bagi pelaku ekstrimisme dan perusakan dengan istilah neo-khawarij atau nama lainnya diluar Islam.

Dalam menyikapi radikalisme beragama, akademisi Islam jangan terjebak pada pengamatan gejala kekerasan yang terjadi un sich, idealnya akademisi Islam melakukan studi lintas disiplin dalam memberikan gambaran makro dan holistik mengapa kekerasan tersebut terjadi. Terlebih dunia saat ini dihadapkan pada krisis multidimensi yang dipicu neo-kolonialisme, kapitalisme, ketidakadilan, kemiskinan dan problematika sosial lainnya.

Upaya deradikalisasi di Indonesia tidak akan efektif jika menggunakan pendekatan sekularistik, di mana pluralisme menjadi semen persatuan yang melarang setiap orang men-syiarkan identitas keagamaannya. Justru deradikalisasi seyogianya dilakukan dengan cara mempelajari agama secara baik dan benar. Setiap pemeluk agama ditantang untuk mewujudkan ajaran agamanya dalam bentuk kesalehan individual sekaligus kesalehan sosial yang nyata. Disinilah peran akademisi Islam dibutuhkan demi kebaikan nusa, bangsa dan agama.  

Tradisi Retorika

Dunia akan sangat menarik untuk dikaji dari sudut pandang ilmu komunikasi. Melalui kajian yang mendalam, Aristotle mengenalkan tiga pendekatan paling efektif untuk membujuk manusia, yaitu ethos, pathos dan logos. Melalui kajian komunikasi, Albert Mehrabian mengemukakan bahwa cara kita menyampaikan lebih penting dari apa yang kita ucapkan. Bahwa dampak keseluruhan dari pesan terdiri dari 7% verbal (kata-kata), 38% vokal dan 55% non-verbal (perasaan, sikap dan mimik wajah). Melalui kajian komunikasi pula Michael Foucault menemukan kekuatan dalam retorika. Sebagai contoh, sistem yudisial memerintah kita melalui hukum, sedangkan hukum itu sendiri hadir dalam bentuk bahasa dan diskursus (retorika). Kemanapun kita pergi, kita akan menemukan retorika, karena ia menurut Wayne Booth bersifat universal dan arsitektonik (menjadi kerangka bagi semua disiplin ilmu).

Robert Craig (1999) mencatat terdapat tujuh tradisi dalam ilmu komunikasi, dan yang tertua di antaranya adalah tradisi retorika. Melalui Buku Seri Penelitian Komunikasi vol. 1 Tradisi Retorika, penulis berupaya mengulas kerangka teoretis penelitian komunikasi bidang kajian retorika secara sederhana. Buku ini bertujuan memberikan pengertian dasar terhadap retorika secara historis dan konseptual. Pada bagian akhir penulis menyarankan telaah lanjutan sebagai rujukan inti untuk pemahaman yang lebih khusus dan mendalam.

Buku kecil ini berupaya membantu mahasiswa tingkat dasar untuk melakukan penelitian di bidang ilmu komunikasi, khususnya dalam kajian retorika. Naskah dapat didownload pada Google Playbook.

Flourish Wisdom through Education

Plato insisted that only Philosopher can rule. We may argue to accept it literally, but we must certainly be agree to see it in a broader sense, that only those who love knowledge, who dedicate them self to the truth, whose words and deeds are characterized by wisdom, can creat just and prosperous society. From that point of view, we see how close is the relation between education and power. High quality of education bequeathes great leaders and vice versa.

We cant imagine to be rulled by the greedy souls who are only satisfied by wealth, or governed by a tyrant who deemed his rival as mortal enemy whose soul is worth killing. To avoid such catastrophe, we must emphasize educative politics in which politician should be an exemplary model for the youth. Since humans learn in society much longer than their episodes in the schools. Youth learn from television, personal gadget, social media, from words of mouth that continuously expose profanity of politicians. In fact, what they see as reality is imprinted more than their semantic memory as in-class lesson.

There is no way out, if we want a change, other than to keep searching, embracing and flourishing wisdom.

What is wisdom? Why it matters? What are its significance in the Holy Quran? What did the Fathers of Education talk about wisdom? And how can we ground those ideas within our society? This book is written to answer those questions as the start of further discussion with the readers.

The book is available at Kindle Amazon Store, Karyavirtual.com, Payhip and Google Playbook.

Kindly click the following link : https://books.google.co.id/books?id=LoPwDwAAQBAJ

Gold Will always Remain Gold

Nabi Khidr AS mendapat mandat dari Allah swt untuk menyelamatkan harta dua anak yatim dari seorang Bapak yang saleh. Harta tersebut terkubur di bawah tembok yang hampir roboh. Bayangkan jika sang bapak menyimpan hartanya dalam bentuk uang warkat berbahan secarik kertas. Berpuluh atau beratus tahun kemudian, anak cucu sang bapak tak mendapatkan harta apapun selain kertas lusuh yang mungkin telah dimakan rayap. Keringat kasab sang ayah habis tanpa keberkahan untuk diri dan keluarganya.

Harta dalam kisah tersebut adalah emas. Komoditas yang diciptakan Allah swt sebagai salah satu bentuk keadilan-Nya. Bahkan jika harta terpendam itu baru ditemukan hari ini, ia masih berharga persis dengan nilai saat harta itu disimpan 33 abad silam.

Kisah diatas merupakan cuplikan dari ‘Gold will always Remain Gold: Sebuah Kajian Fikih Muamalah Kontemporer’ ditulis oleh Daniel Rusyad. Buku ini berupaya menguraikan kaidah fikih secara sederhana dengan pendekatan historis dan praktis. Di antara tema teraktual seputar status uang Kripto dan hajat global terhadap mata uang riil.

Khalifah Umar Ra. Berkata: “Tidaklah berniaga di pasar kami kecuali orang yang faqih (mengerti hukum). Jika tidak maka ia akan terjerumus pada riba.” Khalifah Ali Ra. berkata, “Barang siapa berniaga sebelum ia paham (fiqih) maka ia akan terbentur dalam riba, kemudian terbentur, lalu terbentur lagi, atau masuk, lalu bingung kemudian celaka”.

Buku ini tersedia di Karyavirtual.com, Kindle Amazon dan Google Playstore

Silakan klik : https://bit.ly/2ByuXYR

Virtue-spirited Marketing

Pemasar di era informasi tidak bisa berpikir sektoral. Pemasar dituntut naik kelas seiring konsumen yang semakin bijak dan cerdas. Pemasar tak bisa sekadar mewakili profitabilitas perusahaan, di saat bumi tempat dia berbisnis juga dalam ancaman. Buku ini ditulis untuk menjawab itu, responsibilitas dan profitabilitas dapat berjalan beriringan. 

Pasar di era informasi kembali pada era primitif baru pemasaran (Neo primitive era of marketing) dimana pemasar mengandalkan words of mouth untuk mengejar leads dan penjualan. Kontrol sosial tidak terpusat di media konvensional, tetapi setiap orang melalui media sosialnya. Tak perlu repot membayar iklan, dunia menjadi panggung gratis bagi Patagonia, Grameen Bank, Google dan aktor pemasaran lainnya yang dijiwai kebajikan (virtue-spirited Marketing).

Buku ini tersedia di karyavirtual.com, Kindle Amazon, Payhip dan Google Playstore.

https://play.google.com/store/books/details?id=F9LsDwAAQBAJ

Women and Social Development

Gender inequality is one of the major problem that brings about the poverty. It can be understood, because women play a very vital role in uplifting life standard of the society. For instance, we can not neglect the important role of mother in the familiy, but in the same time, in most of paternalistic society, mother’s voice are not heard. They are often perceived as the assistants rather than as the partner. But in fact, most of importand household needs, especially related to children education, nutritional foods, even health insurance etc are managed by the mother.

In some societies, where women are regarded non equal and are not given access to education, jobs and important position, they are trapped in vicious circle of poverty. Due to lack of education, the mothers will not spend the money wisely. Due to the lack of information, they may not feed the best nutritional foods. And uneducated women usually do not prioritize education for their children. Grameen Bank of Bangladesh is the best lesson to learn, to uplift the life standard of society, they give broad access of financial to women (ie for mother), so as they can develop themselves and nurture the children in the best way to the bright future.

Women’s position in societal development is far more superior than men. Though histories witnessed a lot of  male great leaders, we must keep in mind that all of them were raised by the women. For women are the best leaders nurturer, even some of them are inspiring leaders.

(The article is written as the answer of ASEAN officer test, April 2020)